ADAT BUDAYA PERKAWINAN SUKU BUGIS SOPPENG
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, sentuhan
tekhnologi modern telah mempengaruhi dan menyentuh masyarakat Bugis Soppeng, namun
kebiasaan-kebiasaan yang merupakan tradisi turun menurun bahkan yang telah
menjadi Adat masih sukar untuk dihilangkan. Kebiasan-kebiasaan tersebut masih
sering dilakukan meskipun dalam pelaksanaannya telah mengalami perubahan, namun
nilai-nilai dan makna masih tetap terpelihara dalam setiap upacara tersebut.
Ada dua tahap dalam proses pelaksanaan upacara
perkawinan masyarakat Bugis Soppeng
yaitu, tahap sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi
Selatan pada umumnya, masyarakat Bugis Soppeng khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan merupakan sesuatu hal yang
sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Terdapat bagian-bagian
tertentu pada rangkaian upacara tersebut yang bersifat tradisional. Dalam
sebuah pantun Bugis (elong) dikatakan : Iyyana
kuala sappo unganna panasae na belo kalukue. Yang artinya
Kuambil sebagai pagar diri dari rumah tangga ialah kejujuran dan kesucian.
Dalam kalimat tersebut terkadung arti yang sangat penting dalam menjalankan
suatu perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Asal Mulanya Adat Istiadat
Kita sering diajarkan masalah kebudayaan yang diajarkan kepada kita ini
telah membentuk suatu keyakinan bahwa budaya itu merupakan aktivitas rutin yang
telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia juga menjadi pedoman
dalam tingkah laku, pandangan tentang adat budaya perkawinan suku bugis ini
menyebabkan agar para peneliti merunut terus menggali adat istiadat yang ada
didalamnya, karena itu semua berkelanjutan pada ekspresi simbolik baik antara
individu dengan individu maupun pada kelompok.
Terutama dan paling utama kita bisa
melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut, dan kita bisa
melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut ini juga merupakan
historis dari dahulu yang dilakukan nenek moyang kita dan diwariskan kepada
anak cucunya agar bisa melanjutkan adat-adat tersebut.
Di indonesia banyak sekali
adat-istiadatnya karena di indonesia
banyak sekali suku-suku. Sejak anak yang masih didalam kandungan saja sudah
mempunyai upacara adat sampailah kepada kematian, upacara perkawinan
diceritakan dari sejak orang tua pria meminang sampai dengan upacara
mandi-mandi dengan banyaknya adat-istiadat ini, kita dapat mengetahui
adat-istiadat yang lain di dalam adat bugis sangat banyak ritual yang harus
kita lakukan.
Makna dalam hal ini dibangun dan
bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai, dan suatu
kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing actor dengan tingkat jenjang yang
sangat berbeda-beda kebudayaan pada saat ini sudah jarang dalam kehidupan
masyarakat apalagi pada generasi muda dan bahkan jika ritual tidak dilakukan
maka akan mendapatkan bala’, istilahnya mereka melakukan ritual tersebut untuk
menghindar atau dijauhkan oleh bala’ yang tidak diinginkan.
Di dalam melakukan ritual ini memakan
waku yang cukup lama karena ini sudah aturannya dan tidak boleh dirubah lagi,
disetiap komunitas pasti memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Di desa teluk
Pak Kedai memiliki adat-istiadat perkawinan suku bugis yang sangat kental dan
juga masih melakukan ritual dari nenek moyangnya, bahkan ia sangat menjaga dan
melestarikan hingga sekarang, karena di desa tersebut orang tua-tua masih ada,
di desa teluk Pak Kedai malah banyak melakukan perjodohan, tapi kalau kita
teliti lebih lanjut di kota sudah tidak lagi system perjodohan tapi menggunakan
system pacaran, karena remaja sekarang ini adalah remaja yang mempunyai
keinginan dan pilihan sendiri ia tidak mau diatur oleh orang tuanya.
Kalau adat-istiadat orang bugis ia
tidak mau tidur dengan suaminya sebelum mencapai tujuh hari, apabila acara
ritual sudah dilakukan maka sudah sah suami-istri, kalau orang bugis sangat
banyak barang antaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan baik dari
shalat hingga keperluan yang lainnya.
Masyarakat suku bugis sangat kental
sifat kebersamaan dan rasa solidaritasnya sangat kuat, apabila di suatu kampung
ada yang melakukan acara perkawinan, maka semua masyarakat turun ikut andil
agar acara tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada halang rintangan. Didalam
proses pelamaran hanya diwakili oleh orang-orang yang dituakan bukan orang
tuanya, dan bahasanya aga’ sindiran misalnya perempuan di ibaratkan bunga yang
mekar di taman dan laki-lakinya sabagai kumbang yang menghampiri bunga
tersebut.
Adat-istiadat didalam perkawinan ini
sudah jarang dijumpai di perkotaan, karena kita sering mendengar dipedesaan
saja bahkan dikampung pun sudah meminimalisirkan upacara-upacara yang
dilakukan, adapun bila acaranya sudah selesai semua acara terakhir adalah
Al-Barzanji, apabila ini sudah dilakukan berarti acaranya sudah selesai semua,
istilahnya mengadakan acara keselamatan dan orang kampung pun ikut serta dalam
acara Al-Barzanji tersebut.
Di dalam suku bugis ada upacara kain
sarung, yaitu mempelai cewek dan laki-laki disatukan dalam satu sarung yaitu
proses mempertemukan kedua mempelai untuk pertama kali sebelum disanding
dipelaminan.
Salah satu orang yang dituakan
itulah yang memimpin acara tersebut. Adat-istiadat yang khusus dan yang harus
dilakukan ialah madduta (melamar) merola (Pulang kerumah pihak laki-laki)
disini yang menjadi propokator utama dalam mempersiapkan acara-acara adalah
pihak laki-laki, baik itu memanggil, perlengkapan dan yang lainnya karena kalau
di kampung itu tidak menggunakan undangan tetapi hanya menggunakan memanggil ke
rumah-rumah masyarakat atau biasa disebut dengan (maddupa).
B. Tradisi Bugis Soppeng
Tradisi adat bugis sebelum proses
perkawinan itu sangat banyak sekali adatnya, salah satunya harus ada proses
yang biasa disebut madduta (melamar) awal mulanya sehabis shalat Isya sudah
ramai tamu berkumpul dirumah fuang (kakek) ada Daeng side iskandar dan lainnya,
malam itu mereka akan berkunjung kerumah Ambo tentri atas dari utusan fuang,
untuk meminang putri beliau, lalu perwakilan dari pihak laki-laki berangkat menuju
kerumah mempelai.
Setelah rombongan tiba dirumah calon
wanita, tuan rumah pun mempersilakan untuk masuk dan duduk bersila diatas tikar
permadani lalu Daeng side yang diutus oleh fuang sebagai perwakilan dari pihak
laki-laki untuk menanyakan apakah kembang ditaman sudah ada yang memetiknya?
Lalu ayah dari mempelai istri pun menjawab “memang sudah banyak kembang yang
kami tunjukkan pada anak kami, namun belumlah ia berkenan untuk menggapainya”
lalu Daeng side berkata” kalaulah Pak Ambo berkenan putra fuang yang yang
berkenaan untuk memetik kembang itu.
Keadaan hening sejenak, lalu Ambo
tenri berkata sebenarnya kembang kami belumlah ada yang memetik dan belum mekar
masih perlu dipupuk dan disiram, tapi kalau si penyiram orangnya bijaksana,
Insya Allah kembang itu akan mekar mewangi, jawab Ambo tentri, kalau begitu
permintaan Pak Ambo, Insya Allah anak kami akan berusaha segenap tenaga untuk
merawatnya.
Adat yang kedua yaitu mempenre doi’
(mengantar uang) setelah proses pelamaran acara selanjutnya ialah mengantar
uang. Adapun barang antaran itu terdiri dari seperangkat perhiasan Emas yang
terdiri dari kalung, gelang, cincin dan uang tunai dan jumlahnya biasanya
ganjil-ganjil misalnya Rp: 5.175.325,- tergantung dari bulan, tahun, dan
tanggal pernikahan. Pakaiannya biasanya kain tenun selendang dan bahan baju,
semua barang-barang ini dipersembahkan untuk calon istri dari calon suami.
Calon mempelai laki-laki kedua orang
tuanya tidak ikut serta “Ia hanya diwakilkan kepada seorang juru bicaranya”
Assalamualaikum kata Daeng side, lalu dijawab oleh tuan rumah waalaikum salam
dengan serempak.
Barang-barang antaran diletakkan
berjejer diruang tengah tamu undangan duduk bersandar pada kedua belah dinding,
ruang sambil berbincang-bincang menunggu penyerahan dimulai.
Daeng side kemudian mulai membuka
pembicaraan setelah tamu-tamu telah duduk. Lalu Daeng side memulai untuk bicara
“terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt atas
Nikmatnya dan karunianya terutama nikmat Islam dan Nikmat Iman. Salam takzim
dikirimkaan fuang lalu pada Bapak Ambo tentri keluarga beliau berhalangan hadir
maka dalam acara penyerahan antaran ini diserahkan kepada saya.
Barang antaran itu dapat kita
saksikan bersama yang ada dihadapan kita, nanti akan kami serahkan daftarnya
saja. Antaran yang kami serahkan ini tidaklah seberapa nilainya, namun itu
merupakan satu tanda ikatan kasih sayang antara anak dengan calon istrinya anak
kami Fatima, dengan harapan semoga dapat diterima dengan senang hati sebagai
tanda ikatan kasih sayang.
Barang antaran kemudian di bawa
masuk ke dalam hidangan berupa sup kentang dihidangkan oleh pelanggan, sirih
pinang biasanya dibagikan untuk perempuan dengan harapan semoga mendapat berkah
bagi yang punya anak gadis semoga dapat jodoh.
Ceper yang tadi berisi barang
biasanya dibalas dengan di isi kue-kue bugis untuk calon mempelai laki-laki di
berikan seperangkat pakaian seperti jas, kain sarung dan peci disebut Faduppa
“Setelah selesai mengantar uang asap kesibukan semakin nampak di kedua belah
pihak, pihak laki-laki mempersiapkan tukang arak pengantin yang terdiri dari 6
sampai 7 orang yang ahli dalam menabur beras.
Bunga telur dibuat dari kertas warna
yang terdiri dari berbagai macam warna, ada hijau, kuning, dan merah, bunga
diukir berbentuk empat pesegi atau motif lainnya. Telur direbus dan diberi
warna merah atau kuning, kemudian ditusuk dengan belahan kecil dari bambu dan
diujungnya diberi putik pinang dan untuk menjaga agar bunga dan telur tidak
terlepas dari tusukan tadi.
Setelah siap segalanya, mempelai
laki-laki pada malam hari maka keesokan harinya datang malam ke tempat mempelai
wanita kedatangannya untuk memasang pacar dikuku atau menre’ meppaci-pacci.
Sebelum menggunakan pacar kuku keduanya disuapkan ketam yang sudah dimasak dan
empat warna.
Ada warna hitam, merah, kuning dan
putih, istilahnya manre dewata setelah selesai acara selanjutnya kedua mempelai
masuk ke dalam kain tenun diletakkan, kemudian berlomba keluar dari sarung
tadi, biasanya dilakukan sampai tiga kali.
Daun pacar yang sudah ditumbuk halus
disodorkan pada ibu tadi dengan cetakan jari-jari tangan kedua mempelai dibalut
dengan pacar sehingga tidak kelihatan lagi kuku tangan dan kuku kaki setelah
selesai berinai atau meppaci-pacci, malam itu tidak ada lagi acara. Rombongan
mempelai kembali ke rumahnya, karena besok harus hadir lagi sebagai puncak
acara atau hari maka dalam bahasa bugis essa matang, setelah melakukan
megattung-gattung atau menggantung alat-alat.
Kamar mempelai seperti biasa dihiasi
sedemikian rupa agar menyenangkan baik dekorasi maupun cat, Adat bugis tempat
tidur bukan seprti kebanyakan dikota, tapi dibuat seperti pentas namanya
pundai, pundai ini diukir sedemikian indah oleh pemahat yang terampil dengan
hiasan kaca yang beraneka warna.
Adapun kelambu yang digunakan
berukuran empat persegi panjang ditepinya dipasangkan reng empat buah dan pada
waktu yang akan dipasang diadakan lagi acara adat-istiadat yang disebut
maggattung lalu dimasukkan tali dan dikerek keatas.
Kue-kue terbuat dari beras ketan
dicampur parut kelapa dan gula-gula merah siap dipiring kue tersebut dinamakan
dalam bahasa bugis ialah lana-lana, sebelum kelambu dipasang kue lana-lana
disuapkan kepada calon istri, sebagai tanda mulainya, dengan sempurna kelambu
dipasang, kemudian diikat dengan kokoh beras ketan pun dilambangkan sebagai
kelengketan antara mempelai. Jangan sampai keduanya berpisah (bercerai) gula
sebagai pemain kata sejoli dan kelapa pelambang kesuburan agar kelak hidup
berkecukupan, selesai acara tersebut Ambo tenri membaca doa selamat.
Setelah selesai acara selanjutnya
adalah mendirikan tarub (memasang tenda) pelaksanaan pernikahan tinggal
beberapa hari lagi. Keluarga kedua belah pihak telah berkumpul untuk
membantu-bantu. Ayo tancapkan lagi tiang yang satu itu tinggal lima tiang lagi
yang belum ditancap, baiklah kata warga setempat.
Memang kebiasaan masyarakat kampung,
kalau ada acara pasti semua ikut membantu selalu bergotong-royong dalam
mendirikan tarub setelah acara selesai tarub atau tenda itu di bongkar kembali.
Ibu-ibu sibuk untuk menyiapkan makan
siang bagi para pekerja dan keluarga yang telah beberapa hari datang menginap
di rumah Ambo Tenri, calon mempelai wanita tidak boleh lagi keluar ia harus
dibuatkan kamar khusus, makanan semua diantarkan, kalau mau kebelakang harus
tunggu malam hari jika orang sudah sepi karena itu sudah merupakan adat-adatnya
malam harinya biasanya calon mempelai bertangas untuk mencegah bau keringat.
Pekerjaan pun tak henti-hentinya dan terus bersemangat, Imran
sambil beranjak mengambil daun nipah
yang tersusun dipinggir parit, karena kerjanya bersifat gotong royong hanya
dalam waktu singkat telah berdiri sebuah tarub atau sebuah tenda.
Ambo tenri bisa saja menyewa tenda,
tapi karena sudah adat yang telah membudaya, mereka tetap mempergunakan tarub,
yang terbuat dari batang pinang dan beratap daun nipah yang didirikan secara
gotong royong penuh persahabatan dan kekeluargaan karena sudah menjadi tradisi
warga setempat.
Esso matang (atau hari besarnya)
perkawinan suku bugis yang mengantar mempelai laki-laki terdiri dari kaum
laki-laki dan kaum remaja orang tua mempelai laki-laki biasanya tidak ikut
serta cukup diwakilkan saja, ia akan berkunjung kerumah besannya nanti malam
yang disebut mappemeco atau jamu baisan.
Dengan menghamburkan beras kuning,
mempelai yang berpakaian berkebesaran yaitu igal dan jubah panjang berdiri
mendatangi kedua orang tuanya sambil bersimpuh mencium tangannya, calon suami
pun sujud keharibaan orang tuanya.
Setelah siap segala sesuatunya
dengan membentuk barisan panjang di barisan depan mempelai yang didampingi
tukang payung, kemudian yang membawa mahar, kembang telur dan manggar, barulah
kaum ibu disebut “fada” barulah kemudian bapak-bapak dan pengiring lainnya
memukul tar. Dengan membacakan shalawat atas junjungan Nabi besar Muhammad Saw
sebanyak tiga kali, rombongan bergerak perlahan-lahan.
Sesampai rombongan tidak langsung
naik tetapi berdiri sebentar dimuka tangga dua orang nenek menghamburkan beras
kuning kepada mempelai, sementara pemukul tak berhenti mengumandangkan
pujiannya kepada Allah.
Dirumah wanita,
rombongan disambut dengan musik tanjidor ada enam orang sebagai penyambut tamu,
terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan setengah baya. Kembang manggar
di tancapkan dikiri, kanan tangga sedangkan kembang telur dibawa masuk ke ruang
tengah.
Assalamualaikum jawab Tuan Rumah
dengan serempak, penyambut tamu mempelai menuju ke ruang tengah dan duduk
disamping pelaminan yang masuk ke ruang utama adalah pihak laki-laki dan
beberapa orang tua dari pihak mempelai perempuan , bagi ibu-ibu atau “fada”
tempatnya terpisah, mereka khusus menempati ruang bagian utama dalam.
Sementara menunggu acara ijab kabul
tanjidorpun tak henti-hentinya mengumandangkan lagu, melayu arab, dan yang
utamanya lagu bugis acaranya pun dimulai, Pak Ambo, siapa Tanya petugas KUA
dari pihak kami Bapak H. Agani kata Ambo tentri, lalu dari pihak laki-laki Pak
Bakran, kata Daeng side, setelah itu kedua saksi mendatangi kedua lembar kertas
tersebut, setelah selesai menandatangani, petugas minta agar mempelai maju
mendekat karena acara ijab kabul segera dimulai.
Semua kegiatan berhenti sejenak
tanjidor pun tidak lagi terdengar demikian juga suara hiruk lainnya. Acara yang
di laksanakan adalah acara yang sakral, yang bertindak untuk menjadi wali calon
istri ayahnya Ambo tentri.
Lalu Ambo tentri memegang tangannya
seperti orang bersalaman kemudian dengan suara lantang ia berkata “Ya anaknda
kunikahkan engkau dengan anak kandungku bernama Fatima
dengan mas kawin sebentuk cincin mas, tunai, jawab calon suami tersebut kedua
saksipun manggut-manggut menandakan akad nikahnya sudah selesai tidak perlu
diulangi lagi.
C. Tradisi Perkawinan
Banyak terjadi dalam masyarakat
orang Bugis peristiwa bunuh-membunuh dengan Jallo atau brontak dengan latar
belakang “siri” atau, secara lahir sering tampak seolah-olah orang Bugis
makassar itu merasa “siri” sehingga rela membunuh atau dibunuh karena alasan-alasan
yang sangat sepele atau biasa terjadi apabila ada pelanggaran adat perkawinan,
dalam perkawinan Bugis, perkawinan merupakan pala’ saling mengambil satu sama
lainnya, jadi perkawinan adalah ikatan timbal balik.
Walaupun keduanya dari status dan kalangan
yang berbeda setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra, hanya saja
perkawinan bukan sekedar penyatuan dan persekutuan dari dua keluarga yang
biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya, dengan maksud saling mempereratkan
(mappasideppe mebela-e).
Perkawinan adalah cara terbaik
membuat orang lain menjadi bukan orang lain (tennia tau laeng). Hal ini juga
sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan
mereka atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.
Idealnya perkawinan dilangsungkan
dengan keluarga sendiri, perkawinan antar sepupu, sepupu parallel keduanya
melalalui sisi Ibu atau melalui sisi Bapak) ataupun sepupu silang yaitu dari
sisi Ibu dan dari Ayah dan dianggap sebagai perjodohan yang terbaik.
Ada juga yang mengatakan bahwa, jika
perkawinan pada sepupu sekali maka akan terasa “terlalu panas” (siala merola),
sehingga perkawinan seperti ini jarang terjadi kecuali bagi kaum bangsawan, dan
yang lebih disukai bagi masyarakat Bugis perkawinan antara sepupu dua kali dan
sepupu tiga kali.
Dengan syarat, pasangan yang hendak
menikah tidak boleh berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda pasangan
yang hendak menikah, sebaiknya berasal dari generasi atau angkatan yang sama
dalam proses perkawinan pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada
perempuan yang pertama sumpa (persembahan) yang kedua dui menepe’ atau uang
antaran.
D. Tahap
– Tahap Kegiatan Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Soppeng
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Soppeng yang disebut ”Appabottingeng
ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar
menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Soppeng yang betul-betul
masih memelihara adat istiadat.Pada masyarakat Bugis Soppeng sekarang ini
masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang
sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna,
diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi,
dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi :
1.
Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya
melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan).
Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara
bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan
dilakukan langkah selanjutnya.
2.
Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek
karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang
sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab
oleh calon mempelai laki-laki.
3.
Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang
datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang
pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan
orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan
kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta
Mallino (duta resmi)
4.
Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang
tersembunyi. Jadi Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki
kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang
telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga
terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran
pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang,
kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan.
Dimulailah pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian
pihak perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan
maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu
adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian
tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau
dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan
selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
5.
Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan
kuat. Biasa juga disebut dengan Mappettuada maksudnya kedua belah pihak
bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang
dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala
sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
a.
Tanra esso (penentuan hari)
b.
Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
c.
Sompa (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka
para hadirin disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad
umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian
hari.
E.Pandangan Masyarakat Terhadap Budaya tersebut
Bagi masyakat dipedesaan ritual
seperti ini sudah lumrah bahkan saat sekarang ini tradisi di dalam perkawinan
masih juga dilakukan, dan sangat membingungkan bagi masyarakat dikota, karena
dikota hal seperti ini jarang sekali kita jumpai, hal itu ada jika ada orang
pedesaaan yang urbanisasi ke kota, jadi tradisi kampung masih dilakukannya.
Ritual-ritual
seperti ini ada yang beranggapan bahwa seperti itu tidak dilakukan, karena ada
kalangan masyarakat yang telah memahami kebudayaan yang lebih dalam ia tidak
mau melakukan hal-hal seperti itu.
Kebudayaan dapat terjadi,
dikarenakan adanya masyarakat tanpa masyarakat kebudayaan pun tidak bisa
terjadi dizaman sekarang in sudah banyak kebudayan versi barat yang masuk.
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan:
Tradisi budaya perkawinan suku bugis
mengangkat beberapa hal seperti: Madduta (melamar) mendirikan tarub (memasang
tenda) magattung-gattung (menggantung-gantung) mempenre doi sumpa (mengantar
uang ) mepacci-paci (memakai pacar kuku/ inai) merolah (pulang kerumah mempelai
laki-laki) esso matang (puncak acara) ini semua dilakukan pada saat perkawinan
orang-orang suku bugis.
Didalam upacara-upacara yang
dilakukan kita dapat menyimpulkan bahwa sifat solidaritas masyarakat sangat
tinggi ia saling bahu-membahu dalam bekerja dan saling bergotong-royong dalam
membangun hal apapun.
Dikampung sifat kekeluargaan sangat
erat sekali, bila dibandingkan dengan masyarakat kota, dikota sudah minim
sekali sifat kekeluargaannya, ini dipengaruhi oleh masyarakatnya sendiri tidak
bisa membangun dan menggoyangkan hati penduduknya.
2.Saran:
Bagi para pembaca sekiranya untuk mengkritik tulisan-tulisan
yang sifatnya membangun, agar
untuk kedepan penulis bisa
menjadi penulis yang baik, akurat dan terpercaya. Bagi kaum remaja khusunya bagi para mahasiswa sebaiknya
melestarikan budaya leluhur kita, jangan sampai diabaikan karena budaya asing
selalu menggoyang hati kita yang tak menentu.
DAFTAR PUSTAKA
Christian
Pelras, (2006), Manusia Bugis,
Jakarta: Nalar.
Koentjaraningrat, (1999), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar